Disaat banyak anak muda pecinta pantai, penyelam dan penjelajah lautan dalam mencantumkan Wakatobi, Sulawesi Tenggara dalam wishlist destination nya, sebagian anak muda Wakatobi justru mencari cara agar dapat keluar wilayahnya. Padahal kepulauan ini termasuk dalam wilayah coral triangle atau segitiga terumbu karang dunia, bahkan saking kayanya keanekaragaman hayati lautnya sehingga dijuluki Amazon of the Seas. Kenapa?
Meskipun memiliki kekayaan 750 dari total 850 spesies koral yang ada di dunia, dengan konfigurasi kedalaman laut dari beberapa meter saja hingga 1.044 meter, disertai keindahan pantai dan lautnya yang banyak mengundang orang dari manca negara ternyata belum mampu menawan sebagian anak muda Wakatobi untuk tetap tinggal.
Sebagian besar dari mereka merantau saat usia muda, sesudah lulus Sekolah Menengah Atas bahkan sebelumnya. Selain untuk melanjutkan pendidikan, yang terbanyak untuk mengadu peruntungan dalam mencari pekerjaan. Wilayah tujuannya tergantung jaringan pertemanan atau kekerabatan.
Ada yang ke Batam, atau Kalimantan bahkan ke Indonesia bagian Timur. Kota Ambon dan Taliabo menjadi wilayah yang sering disebutkan anak-anak muda, saat ditanya tujuan mereka merantau.
“Kalau belum merantau keluar dari pulau, ada anggapan belum jadi laki-laki sejati,” tutur Ridwan, salah satu anak muda dari Tomia dalam satu obrolan santai di tahun 2021. Orang tuanya sudah lama mendesak agar dia pergi mencari pekerjaan di luar Wakatobi. Cuan dicari untuk dibawa pulang.
Adiknya bahkan selepas SMU sudah pergi untuk bekerja sebagai penjaga toko saudaranya di luar Wakatobi. Ridwan, yang mencoba bertahan, akhirnya harus menyerah keluar dari Tomia di akhir 2021. Keinginan untuk mengembangkan produk lokal, membuat tepung singkong yang dimodifikasi, bersama kelompok anak muda desanya belum bisa terwujud.
Janji Pemerintah Desa untuk mendukung usaha mereka mengembangkan potensi desa belum bisa dipenuhi. Dana desa masih digunakan untuk penanggulangan Covid. Sayang, padahal sejumlah resto dan jaringan sudah bersedia membeli tepung mocaf yang mereka hasilkan.
Sebagian usaha ekonomi yang dirintis anak muda di Wakatobi, saat ini relatif tersendat. Tuntutan ekonomi untuk menghasilkan uang cepat dan nilai “merantau” membuat proses berwirausaha, dengan mengembangkan potensi lokal diwilayahnya kerap dianggap membuang-buang waktu dan hanya bermain-main saja. Padahal, jika dilakoni dengan sepenuh hati, dapat menjadi sumber penghidupan yang dapat diandalkan.
Harus merantau, bisa jadi erat dengan masa lalu orang Wakatobi dikenal sebagai pelaut ulung, mampu melintasi berbagai lautan hingga samudra Pasifik dan samudra Hindia. Pelaut Wakatobi lah yang berperan penting sebagai penyambung perekonomian antara wilyah timur dan barat Nusantara.
Kini seiring dengan perkembangan moda transportasi, perannya semakin menurun, dan semakin sedikit kapal-kapal Wakatobi di berbagai Pelabuhan Nusantara. Tetapi nilai harus berlayar keluar masih melekat kuat.
Selain itu, menjadi Aparatur Sipil Negara masih menjadi impian tertinggi bagi anak muda, bahkan yang sudah tidak muda lagi di Wakatobi. Padahal semakin terbatas posisi yang dibutuhkan.
Tidak jarang, sebagian besar anak muda memilih menjadi tenaga honorer, terutama yang sudah mengecap pendidikan tinggi, dengan harapan segera diangkat menjadi pegawai tetap, meskipun secara pendapatan tekor. Pegawai Negeri Sipil memang memiliki nilai lebih di masyarakat. Dalam kegiatan adat, keturunan bangsawan dan para pegawai yang mendapat tempat di depan.
Langkah awal
Ada sejumlah usaha mulai dirintis anak-anak muda Wakatobi di masa pandemi. Mereka memulai dengan gagasan mengolah apa yang ada di kebun masing-masing. Sesuatu yang tidak membutuhkan modal besar tetapi bisa menjadi produk andalan. Sesuatu yang sederhana, tetapi dapat menambah pendapatan bagi tiap orang yang terlibat.
Seperti yang dilakukan oleh Novan dan 10 orang kawan-kawannya yang tergabung dalam kelompok anak Muda Rompuso, di Desa Waha, Pulau Wangi-wangi.
“Kami melihat banyak umbi-umbian di kebun, namun sayangnya banyak anak muda yang sudah tidak kenal jenis-jenis umbi tersebut. Mereka sudah tidak terbiasa mengkonsumsi lagi, berbeda dengan orang-orang tua dulu,” cerita Novan.
Sementara mereka juga sering melihat nenek dan kakek mereka menjual umbi-umbian hasil kebun di pinggir jalan dengan harga yang relatif murah. “ Hanya 50 ribu saja satu karung, itu pun jarang yang beli juga karena rata-rata orang punya kebun. Karena kalau dibawa ke pasar jauh, ongkosnya mahal dan belum tentu laku juga.” Tambah Novan lagi. Ojek ke pasar Sentral di Wanci Rp.20.000,- sekali jalan.
Mereka pun berinisiatif mengolah umbi-umbian yang tumbuh di kebun komunitas seperti keladi dan ubi ungu, menjadi keripik. Proses ini secara tidak sengaja membuat mereka mengenal lagi jenis-jenis umbi lainnya yang sempat dilupakan. Ada garut dan ada juga uwi, yang kerap disebut Opa oleh sebagian masyarakat Wakatobi.
Dengan kekayaan 19 jenis uwi (Dioscorea), Wakatobi termasuk wilayah dengan umbi-umbian paling kaya se Sulawesi Tenggara.
Saat ini paling laku dan diminati adalah keripik keladi dengan rasa original, pedas dan bawang. Brand yang mereka kembangkan Kridi untuk Keripik Keladi aneka varian. Ada juga Kribo alias Keripik ubi manis yang dipadukan dengan gula aren.
Sejumlah inovasi terus dikembangkan, seperti memberikan rasa Lure, ikan kecil-kecil yang sering dijadikan lauk oleh masyarakat Wakatobi dan juga rasa kerang. Namun sayangnya produk dengan rasa lure, maupun kerrang, belum disambut baik oleh konsumen.
Untuk Opa, gank Rompuso masih harus menghadapi tantangan. “Berkali-kali kami mencoba, namun hasilnya masih sangat berlendir dan belum bisa garing keripiknya meski pun sudah direndam garam dan air kapur sirih.” jelas Novan lagi. Tetapi Kridi, menjadi produk yang paling digemari.
Mereka masih terus semangat mengembangkan produknya, ditengah berbagai tantangan. Saat musim hujan dan sering badai seperti sekarang, agak sulit berkumpul, apalagi tempat produksi ada di pinggir pantai. Ada juga sebagian anggota tim Rompuso, yang artinya pengusaha perempuan yang keren, juga tidak bisa menolak tuntutan orang tua mereka untuk pergi ke luar pulau dan bekerja. Memang untuk jangka pendek solusi ini dianggap paling tepat di komunitas, menghasilkan uang lebih cepat dan banyak untuk jangka pendek dibandingkan mengembangkan produk sendiri.
Proses yang sangat tidak mudah, tetapi Novan dan sejumlah anak muda yang masih tinggal di Wakatobi percaya bahwa berwirausaha selain memiliki pendapatan sendiri adalah soal kemandirian dan juga keleluasaan untuk bereksperimen. Sesuatu yang tidak mudah didapat oleh anak muda.
Novan berharap makin banyak anak muda Wakatobi lebih mengenal lagi kekayaan yang dimiliki, menjadikannya sebagai sumber penghidupan yang berkelanjutan. Sunggu ironis, banyak yang mau masuk ke Wakatobi karena keindahannya, tetapi sebagian anak mudanya malah pergi karena alasan ekonomi.
Mengenal Wakatobi:
Wakatobi, adalah salah satu Kabupaten di Sulawesi Tenggara. Namanya merupakan akronim dari empat pulau besar: Wangi-wangi, Kaledupa, Tomia, Binongko,. Sebelumnya wilayah yang memiliki total 142 pulau ini dikenal dengan nama Kepulauan Tukang Besi. Sebagian besar wilayah Kabupaten Wakatobi merupakan bagian Taman Nasional Wakatobi terdiri dari 25 gugusan terumbu karang sepanjang 600 km.
SUmber: IndonesiaBersatu