LAMPUNG7COM, Ekonomi – Program Kredit Usaha Rakyat (KUR) pertama kali diresmikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 5 November 2007. Program tersebut ditujukan untuk memberdayakan Usaha Mikro, Kecil, Menengah dan Koperasi (UMKMK), penciptaan lapangan kerja, dan penanggulangan kemiskinan, Pemerintah menerbitkan Paket Kebijakan yang bertujuan meningkatkan Sektor Riil dan memberdayakan UKMK.
Pada saat itu, KUR mendapat fasilitas penjaminan kredit dari Pemerintah melalui PT Askrindo dan Perum Jamkrindo. Adapun Bank Pelaksana yang menyalurkan KUR ini adalah Bank BRI, Bank Mandiri, Bank BNI, Bank BTN, Bank Syariah Mandiri, dan Bank Bukopin.
KUR diberikan oleh perbankan kepada UMKMK yang feasible tapi belum bankable agar pelaku UMKM memiliki prospek bisnis yang baik dan berkemampuan untuk mengembalikan. UMKM dan Koperasi yang diharapkan dapat mengakses KUR adalah yang bergerak di sektor usaha produktif antara lain pertanian, perikanan dan kelautan, perindustrian, kehutanan, dan jasa keuangan simpan pinjam.
Lantaran KUR diperuntukkan bagi UMKM yang notabene tidak memiliki agunan sebagai jaminan bank, maka suku bunga KUR dipatok sangat tinggi hingga mencapai 22 persen.
Total Penyaluran KUR tahun 2007-2014 sebesar Rp178,85 triliun dengan NPL atau rasio kredit bermasalah sebesar 3 persen. Tenaga kerja yang berhasil diserap dari program KUR adalah sebanyak 20.344.639.
Kebijakan suku bunga KUR pun diubah pada masa awal pemerintahan Presiden Joko WIdodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Pemerintahan baru itu menilai suku bunga KUR yang dipatok 22 persen terlalu mahal untuk kelas UMKM.
Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK), mengaku marah dengan suku bunga tinggi yang diberlakukan bagi pengusaha kecil, khususnya dalam program Kredit Usaha Rakyat (KUR). Lebih khusus, JK menyoroti Bank Rakyat Indonesia (BRI) yang mematok bunga mahal untuk KUR.
“Kita mahal dari segi keuangan, bunga tinggi dibanding negara lain. Malah KUR dulu 22 persen, saya marah, ini anda ini BRI ini untung tinggi karena bunga tinggi anda kasih rakyat kecil, bahaya ini, turunkan!” kata JK.
Oleh sebab itu, pemerintah memaksa suku bunga KUR untuk diturunkan dengan risiko memberikan subsidi bunga bagi program tersebut. JK melihat, bank dengan cabang dan kios mikro terbanyak di Indonesia ini mengambil untung dengan cara membebani masyarakat pengusaha kecil.
“Jadi jangan untung karena membebani rakyat kecil, jadi tidak adil karena faktor lebih penting pengusaha besar 10 persen, pengusaha kecil 22 persen, sangat tidak adil. Sampai saya marah betul, turunkan! Anda tidak adil perlakukan bangsa ini,” kata JK.
Pada Juli 2015, pemerintah secara resmi memberlakukan suku bunga KUR sebesar 12 persen. Meski demikian, pemerintah tampaknya masih belum puas dengan angka tersebut. Pada 4 Januari 2016, suku bunga KUR kembali diturunkan menjadi 9 persen dan tanpa agunan.
Target penyerapan KUR pun ditingkatkan cukup signifikan dari Rp 30 triliun di tahun 2015 menjadi 120 triliun di tahun 2016. Hal ini mengingat kondisi perekonomian yang sedang menurun dan target penyaluran KUR Rp 30 triliun tahun 2015 tidak tercapai.
JK menegaskan, penyerapan Kredit Usaha Rakyat (KUR) tahun 2016 dipatok mencapai Rp 120 triliun. Untuk mencapai target tersebut, pemerintah sedang merumuskan strategi yang akan digunakan untuk mencapai target tersebut.
“Pembiayaan KUR yang Rp 100 triliun itu harus dipersiapin, gitu,” kata JK di kantornya, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat, Kamis (7/1).
JK berkaca pada penyaluran KUR tahun 2015 yang dinilai terlambat sehingga penyerapannya kurang maksimal. “Ya memang karena kita memulainya juga telat kan. Baru mulai bulan berapa kan kita terusin,” imbuh JK.
Sasaran penerima KUR pun di perluas. Pedagang kaki lima hingga Tenaga Kerja Indonesia yang kembali ke Tanah Air, diperhitungkan untuk mendapatkan KUR.
Meski demikian, penyaluran KUR di era Presiden Joko Widodo menuai polemik. Aturan pemerintah yang membebaskan agunan atau jaminan untuk pinjaman KUR maksimal Rp. 25 juta tidak dijalankan perbankan. [mdk]