Ambang batas capres merupakan syarat pasangan calon di Pilpres di mana pasangan calon harus diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% dari jumlah kursi DPR atau 25% dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya.
“UU Pemilu semakin mengecilkan saluran bagi putra putri terbaik bangsa untuk mendapatkan kesempatan yang sama di dalam pemerintahan. Padahal ambang batas pencalonan tidak pernah ada di dalam Pasal 6A UUD hasil Amandemen. Yang ada di Pasal 6A, ayat 3 dan 4 adalah ambang batas keterpilihan. Jadi yang benar adalah penerapan ambang batas keterpilihan. Bukan pencalonan,” papar LaNyalla.
Menurut Senator asal Jawa Timur ini, ambang batas keterpilihan penting untuk mendorong bahwa presiden terpilih bukan hanya sekadar populer, tapi juga tersebar secara merata untuk negara yang timpang jumlah penduduk seperti Indonesia. Sementara itu ambang batas capres dinilai LaNyalla lebih banyak mudaratnya, dari pada manfaatnya.
“Ambang batas pencalonan atau presidential threshold, yang dikukuhkan dalam Undang-Undang Pemilu banyak disebut sebagai pintu masuk Oligarki Partai yang bersimbiosis dengan Oligarki Pemodal. Karena pada hakikatnya Oligarki ini muncul karena konsentrasi kekayaan yang dibiarkan berlangsung terus menerus dan semakin menggurita,” paparnya.