Jakarta – Beberapa perwakilan mahasiswa Papua mengadukan Kapolresta Malang Kombes Leonardus Simamarta ke Propam Polri karena diduga melontarkan ancaman berbau rasisme saat demo Hari Perempuan Sedunia. Kadiv Propam Polri Irjen Ferdy Sambo membenarkan pihaknya telah menerima aduan tersebut.
“Benar hari ini Yanduan Propam Polri menerima pengaduan dari salah satu mahasiswa Papua terkait kejadian di Polresta Malang,” ujar Sambo saat dihubungi lewat pesan singkat, Jumat (12/3/2021).
Sambo mengatakan Propam akan mulai melakukan penyelidikan terkait kasus tersebut. Selain itu, Sambo menyebut baik pelapor maupun terlapor akan dimintai klarifikasi.
“Langkah Divisi Propam akan mulai melaksanakan penyelidikan dan klarifikasi terhadap pihak-pihak terkait baik dari pelapor dan terduga pelanggar,” tuturnya.
Sambo memastikan Propam akan bekerja secara objektif dan transparan dalam memproses aduan tersebut.
“Propam Polri akan objektif dan transparan dalam memproses dan menindaklanjuti setiap laporan pengaduan masyarakat terkait perilaku anggota Polri dalam pelaksanaan tugas,” tandas Sambo.
Seperti diketahui, Kapolresta Malang Kombes Leonardus Simarmata diadukan ke Propam Mabes Polri soal dugaan ujaran rasisme kepada mahasiswa Papua yang sedang melakukan demo Hari Perempuan Sedunia. Kuasa hukum perwakilan mahasiswa Papua, Michael Himan, mengklaim laporan kepada Leonardus telah diterima oleh Propam Polri.
“Hari ini kami resmi dari mahasiswa Papua, kami telah melaporkan Kapolres Malang Leonardus Simarmata di mana yang telah mengeluarkan instruksi pernyataan yang sangat rasis dan diskriminatif terhadap mahasiswa Papua di Kota Malang. Atas dasar itu, kami perwakilan dari mahasiswa Papua datang untuk melaporkan terkait ujaran rasis tersebut,” ujar Michael di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Jumat (12/3).
Surat Pengaduan Propam yang dikeluarkan bernomor: SPSP2/815/III/2021/Bagyanduan. Surat tersebut ditandatangani oleh Operator Sentra Pelayanan Propam Tim II Brigadir Dwi Yulia Sari dan dilaporkan oleh Arman Asso selaku mahasiswa Papua.
Surat itu ditujukan kepada Kadiv Propam Polri Irjen Ferdy Sambo. Surat tersebut dibuat lantaran adanya dugaan ujaran rasis dan diskriminatif terhadap beberapa mahasiswa Papua di Malang yang dilakukan oleh Kombes Leonardus Simamarta selaku Kapolresta Malang.
Demo Hari Perempuan Sedunia di Kota Malang sebelumnya berlangsung ricuh, Senin (8/3). Massa pendemo merusak truk polisi dan memecahkan kaca truk polisi sehingga petugas yang ada di balik kemudi terluka.
Massa pendemo berasal dari Aliansi Gerakan Perempuan Bersama Rakyat (GEMPUR). Secara bersamaan ikut pula massa pendemo dari Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) dan Ikatan Pelajar dan Mahasiswa Papua (IPMAPA).
Di saat massa GEMPUR bubar dan membatalkan long march, justru peserta aksi dari AMP dan IPMAPA bergerak dan menggelar orasi. Polisi bersama Satgas COVID-19 Kota Malang meminta pendemo bubar karena dinilai melanggar protokol kesehatan.
Tiga truk disediakan untuk mengevakuasi peserta aksi menuju tempat masing-masing. Negosiasi berjalan alot, pendemo menolak dievakuasi, dan justru berlaku anarkistis dan sampai memecahkan kaca truk. Sejumlah mahasiswa diamankan dan dibawa ke Polresta Malang Kota. Malam harinya, para mahasiswa kemudian mendatangi Polresta Malang Kota untuk menjenguk rekannya.
Saat para mahasiswa hendak masuk, ada teriakan dari polisi bahwa mahasiswa dilarang masuk. Jika masuk, akan ditembak. Video teriakan polisi yang hendak menembak mahasiswa tersebut viral di media sosial dan aplikasi percakapan. Dalam video berdurasi 23 detik itu, hanya terdengar teriakan itu saja, tak terlihat siapa yang berteriak.
“….Halal darahnya, tembak! Kamu masuk pagar ini, kamu halal darahnya. Saya tanggung jawab,” demikian suara terdengar di video yang viral.
Sementara itu, Leonardus mengatakan video yang viral tersebut adalah video yang telah dipotong. Karena dipotong, video itu tidak benar.
“Itu videonya dipotong. Jadi yang benar adalah mereka mencoba merangsek masuk ke dalam satuan saya. Itu pintunya kan ditutup. Mereka memaksa masuk, itu yang terjadi. Jadi itu videonya dipotong,” ujar Leo, Rabu (10/3).
Karena para mahasiswa memaksa masuk, kata Leo, secara otomatis dia tidak mengizinkan. Karena untuk masuk kantor polisi, harus ada aturannya.
“Mereka memaksa masuk. Saya katakan tidak boleh masuk. Kalau kamu masuk, itu ada aturannya. Kita punya SOP. Kalau ada yang masuk, merusak markas, kita lakukan tindakan tegas,” tandas Leo. | pin