Cerpen Part I
Penulis : Erwin
Naskah : Senyum Kecil
Minggu, 13 Oktober 2019, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat, Indonesia.
LAMPUNG7NEWSMencintai seseorang memerlukan perjuangan dan komitmen, dengan adanya cinta dalam diri menjadikan kita tau akan sebuah NYATA yang tak mampu di SENTUH namun bisa di RASA kan. Cinta adalah anugrah yang diberikan oleh Tuhan kepada hambanya, hal itu untuk menambah kesempuranaan hidup, namun tidak jarang orang terluka begitu dalam akibat CINTA, perlu diketahui, cinta adalah sesuatu yang sangat suci di dalam sanubari, maka menjaga cinta tetap tumbuh berkembang dengan indah bag bunga di taman, perlu kesabaran dan keiklasan, semua itu agar kita paham bagaimana merasakan cinta yang sesungguhnya. Merajut cinta dengan seseorang yang hendak kita jadikan pasangan hidup, bukan hal yang mudah untuk dilalui, banyak aral dan rintangan yang datang silih berganti, sebab bahagia itu hanya sesaat selebihnya hanya penderitaan. Ceria itu Nyata Bahagia itu Ada. Begitu juga dengan penderitaan yang sabar dan selalu siap untuk menggantikan posisi kebahagiaan dalam diri kita.
Gunung Pantjer adalah Perbukitan yang berisi Tanaman Pohon Pinus. Di area pohon Pinus merupakan tempat wisata lokal yang ada di Kota Bogor Jawa Barat, Indonesia, dan disanalah kisah cinta anak manusia tercipta, berikut kisahnya, “Di sini adalah tempat dimana aku selalu berharap kesetian menjadi nyata untuk menyatukan cintaku, seperti Merpati kesetiaannya tak pernah pudar dimakan oleh waktu.
Hari kian tergerus oleh waktu, aku mulai gelisah dimana aku juga harus menelan kekecewaan dalam penantian, kekasih yang kunantikan kehadirannya tak jua kunjung datang di tempat yang sudah kami janjikan.
“Tia, dimana kamu, aku menunggumu disini, ditempat awal kita bertemu, apakah kamu tidak ingat hari ini hari jadian kita untuk yang ke 9 tahun,” renung Ilmi sembari termangu menyaksikan lalu lalang orang bergandengan tangan dengan senyum bahagia.
Kesendirian Ilmi membuatnya larut dalam lamunan, saat itu ia teringat pertama kali berjumpa, pandangan pertama ia jatuh cinta kepada gadis dipinggiran kota Bogor Jawa Barat, saat itu Ilmi masih duduk di bangku Sekolah Menengah Atas, sementara Tia pun sama, namun keduanya berbeda kelas.
Waktu menunjukan pukul 13.20 WIB, Ilmi terhentak saat Tia menghampirinya, kemudian pudar sudah lamunan Ilmi seketika.
“Hei Kak Ilmi, ngelamun aja, ngapain sih ngelamun,” sapa Tia, sembari menepuk bahu Ilmi.
“Hah, Ah Tia, bikin kaget aja,” jawab Ilmi terperanjat sembari menolehkan pandangan kebelakang tepat dimana Tia berdiri.
“Maaf, kaget ya,… Hehehe, maaf ya sayang, dah lama nunggu, pas sampai dikagetin pula, maaf ya sayang akuuu…,” kata Tia manja, yang tak ingin membuat kekasihnya itu marah.
Beberapa saat keduanya terdiam seribu bahasa, sementara Ilmi nampaknya mulai enggan bicara, justru menunggu Tia memecahkan kebisuan diantaranya.
Benar saja, Tia pun sibuk bermain dengan Handpone nya, yang menambah kesal hati Ilmi. Tia pun asyik memainkan ponselnya, berselfie ria menorehkan senyum kekamera.
“Udah dateng telat, sibuk main hp pula, sebenernya apa sih yang disembenyiinnya dari aku, jadi penasaran, ah atau jangan-jangan Tia selingkuh… Aaaah, sok selfie pula, ihhh apaan sihh,” kemelut Ilmi dalam hatinya.
Waktu terus berputar, Tia tetap saja asyik memainkan Handphonenya, meskipun Tia sadar, suasana itu tidak baik untuk berdiam-diam, sebab Ilmi sangat mencintainya dan Tia pun sama, tak ingin kehilangan Ilmi.
“Ngomong sih kak, ajak aku ngomong, jangan kamu diemin aku, hayolah kak larang aku main hp, hayoo dong kak,” harap Tia dalam hati.
Tidak jua ada perbincangan di antara mereka, meskipun hari itu adalah hari yang sangat bersejarah bagi hubungan asmara keduanya.
Kebisuan pun terpecahkan, mana kala potografer menawarkan jasa untuk mempoto mereka.
“Hai mbak dan masnya, maukah kalian mengabadikan momentum kalian berwisata di hutan Pinus ini,” kata Potografer itu seraya menawarkan jasa.
“Nggak mas, makasih, lain kali aja,” jawab Ilmi lirih. Sementara Tia pun bersemangat menjawab mau.
“Ia mas mau, tapi jangan mahal-mahal ya, yang murah aja,” timpal Tia bersemangat sembari menarik lengan Ilmi.
“Sayang, mau ya, bentar doang kok, gak lama, mau ya kita poto, macam prawedding gitu, mau ya…,” kata Tia manja, sembari tersenyum manis dan lengan Ilmi pun di pegang erat oleh Tia.
“Hemm,” sahut Ilmi singkat.
“Hayo mas mau poto dimana, yang bagus ya hasilnya, kalau gak bagus males aku bayar,” kata Tia kepada Potografer tersebut sembari berdiri dari tempat duduknya. Kendati berat hati, Ilmi tetap mau diajak poto, senyum kecil mulai terurai dibibir imut Tia.
“Ihh aneh banget sih, mau poto tapi kok masih macem gitu sih, sebenernya ada apa sih, atau jangan-jangan…., ah nggak-nggak-nggak, gak mungkin, masa iya dia bosan sih sama aku…. Oh tuhan pertanda apa ini,” resah hati Tia.
Setelah sekian lama menjalin hubungan sejak masih di sekolah, ingin sekali Tia bersanding dipelaminan dengan Ilmi, namun kenyataan berbeda, saat keduanya berjumpa di taman Pinus, hubungan mereka kian kentara renggang, terlebih dengan sikap Tia yang seolah berubah drastis, sehingga Ilmi semakin yakin bahwa Tia tidak mencintainya lagi. Kesalahpahaman itu tidak dapat di urai dengan baik, sebab Ilmi juga memiliki pikiran yang sama, parahnya lagi cinta Ilmi kepada Tia justru mulai pudar seiring berjalannya waktu.
“Mungkin ini waktu yang tepat untuk mengakhiri hubunganku sama kamu Tia, meskipun aku sangat sayang dan cinta sama kamu, maaf kan aku Tia, aku hanya ingin kamu bahagia, meskipun bukan bersamaku,” lamun Ilmi seraya menarik nafas panjang dan menghempaskan seketika. Seusai poto keduanya duduk bersebelahan dan tidak berucap satu sama lain, yang kemudian Ilmi mengajak Tia untuk berjalan santai menikmati indahnya alam Hutan Pinus.
“Sayang, jalan-jalan aja yo, gak asyik nih duduk disini,” ajak Ilmi pada Tia.
“Hayo,” sahut singkat Tia sembari beranjak.
Diperjalan Ilmi memainkan jarinya untuk mengucapkan kata yang mungkin tidak harus diucapkan.
“Tia, sebenernya siapa sih yang kamu cintai selain aku?,” ucap Ilmi seketika memecah kebisuan.
“Maksudmu apa kak, apa kamu sudah bosan sama hubungan kita, atau kamu sudah punya cewek lain selain aku,” jawab Tia kaget dan langsung menghentikan langkah kaki.
“Benerkan apa yang aku pikirin tadi, emang ni cowok dah berubah, enak banget mau putus gitu aja, terus untuk apa coba hubungan sudah lama tapi harus putus juga,” kecamuk dalam hati Tia, bahkan tak sadar, buliran air telaga tak mampu dibendung oleh pelupuk mata Tia. Sesekali Tia menyeka air telaga dengan ujung kerudung.
“Tia sayang, jangan nangis, maaf kan aku ya, mungkin ini jalan terbaik buat hubungan kita, aku tau ini sulit dalam nyata, tapi harus aku ucapkan.”
“Apa kamu bilang, untuk kebaikan kita, enak amat kamu ngomong gitu, tanpa mikirin perasaanku.”
“Ya maaf,…”
“Maaf kamu bilang, setelah Sembilan tahun kita menjalin hubungan tiba-tiba kamu ngajak kita putus, mana janjimu untuk kita menikah , mana janji manismu dulu, mana……” Teriak Tia tidak tertahan, yang tanpa sadar orang-orang disekitar memperhatikan mereka.
ertengkaran hebat pun tidak dapat dihindari lagi dari pasangan remaja itu. Kemudian Tia berlari sambil membiarkan air matanya mengalir.
“Tia… Tia… Dengerin penjelasan aku dulu,…” Panggil Ilmi, namun Tia tidak menghiraukan panggilan Ilmi, ia pun terus berlari. Ilmi pun terpaku duduk dibongkahan batu besar disisi jalan, sembari menjambak rambutnya sendiri.
“Maafkan aku Tia, bukan maksudku demikian, aku tau ini salah, tapi setidaknya kamu harus paham, kamu sudah berubah, seakan kau tidak mencintaiku lagi,” ujar Ilmi dalam hati. Tiba-tiba ada seoarang gadis menghampiri Ilmi, yang tak kalah cantik dan menawan, menyapa dengan lembut.
“Kunaon Aa, meni sorangan bae didie?, (kenapa kakak, kok sedirian aja disini),” lembut Rani dengan bahasa sundanya, yang tidak pernah bisa ia rubah.
“Eh, elu Ran, ngapain loe disini, bukannya loe ke Bandung tempat nenek loe?,” timpal Ilmi ramah seraya bertanya.
“Aa kumaha sih, ayo anterken abi uih, (Kakak gimana sih, ayo anterin aku pulang),” ajak Rani.
“Hayo ah balik, males juga disini, sepi,”
“Sepi gimana, orang serame gini, kok sepi sih, aneh aa mah,”
“Yang sepi disini, didada sepi, penuh batu di dada,” kata Ilmi, sambil menepuk dadanya.
Keduanya pun beranjak pulang, diperjalanan, keduanya asyik bercengkrama diatas motor. Ilmi pun lupa akan kisahnya bersama Tia, dan seakan cinta lama bersemi kembali. Ya, benar saja, Rani adalah cinta pertamanya, meskipun Ilmi belum sempat mengutarakan cintanya kepada Rani. Disudut halaman rumah Rani, terdapat taman bunga yang dilengkapi dengan kursi dan meja kecil khusus taman, disanalah Ilmi dan Rani duduk berdua.
“Ran, siapa cowok loe sekarang?,”
“Ih, Aa mah, atuh gak punya pacar saya mah, jomblooo, tau kan jomblo?,”
“Aiii masa iya loe jomblo, atuh tidak mungkin loe jomblo,”
“Ih, Aa mah, tidak percaya,”
“Iya lah, mana gue percaya, secara loe itu cantik, manis, pinter, anak orang kaya, mana mungkinlah jomblo,”
“Aii Aa mah, menghina itu namanya, saya mah jomblo akut, bersertifikat,”
“Berarti ada kesempatan dong buat gue, jadi pacar loe Ran,”
Mendengar ucapan Ilmi tentang cinta, sontak Rani terdiam dan tertunduk malu, sementara Ilmi hanya bisa menunggu jawaban Rani.
“Seandainya Aa teh bukan punya Tia, pasti aku mau A, tapi kan Aa punya Tia, masa iya aku terima cinta Aa, kumaha iye tuhan,” kata hati Rani seolah ingin sekali mengatakan bahwa dia mau menerima cinta Ilmi.
”Aa kan dah punya Tia, kenapa gitu masih ngomong suka sama Rani, apa atuh artinya, Aa mau bikin Rani baper ya A, ulah atuh A, kita mah sudah saling tahu satu sama lain, biarkan Rani menikmati kesendirian ini,“ jawab Rani ramah sembari tersenyum.
“Bukan soal gue ama Tia, Ran, tapi ini soal hati, loe pahamkan maksud gue, gue suka sama loe itu dah lama banget, sejak kita masih sekolah,”
“Lantas Tia mau dikemanain A, saya mah temenan sama Tia geh akrab sekali, dia temen curhat,”
“Jadi loe gak mau nih nerima cinta gue,”
“Bukan soal gak mau atau mau, ini soal temen A, kumaha sih,”
“Oke, paham gue, pada intinya loe gak mau jadi pacar gue, dan soal Tia dia sudah bahagia sama orang lain,“ jelas Ilmi.
Rani yang terdiam, pun tak mau melihat wajah Ilmi, meskipun bibirnya ingin sekali mengungkapkan kata sayang, akan tetapi Rani ragu akan rasa itu yang selama ini juga tersimpan rapi direlung hatinya. Sepi melanda diantaranya.
“Ini apa lagi, mahgrib masih sembab nangis, aya naon gelis kesayangan mama, aya naon, ribut lagi sama Ilmi, hemmm anak mama yang cantik,“ tegur Ibunda Tia, sembari memeluknya dengan kasih sayang.
“Mungkin Ilmi lagi emosi, hubungan itu harus saling sabar, mengerti satu sama lain, agar semua berjalan dengan baik, tidak boleh berantem, gak bagus buat hubungan, kataya kalian saling mencintai, bahkan Ilmi mau melamarmu, kenapa sekarang kalian harus seperti ini?.”
“Kak Ilmi mutusin Tia Ma, tadi siang waktu ketemu di Gunung Pantjer, Tia rasa dia sudah punya yang baru Ma, sakit Ma, sakit banget diputusin,”
“Ah, masa iya Ilmi begitu orangnya, Mama perhatikan Ilmi orangnya baik, sopan bahkan sangat sayang sama anak Mama, mungkin kalian salah paham saja, sudah ya, anak Mama jangan nangis lagi, biar Mama besok yang bicara sama Ilmi, sekarang kita makan ya, Mama sudah siapkan makan malam kesukaanmu,“ bujuk Marisa, Mama Tia.
Isak tangis Tia berangsur reda, dan mau mengikuti kemauan Mamanya. Tia yang merupakan anak tunggal Marisa. Sementara Ayah Tia jarang dirumah karena harus keluar kota untuk menjalankan bisnis keluarganya, Tia hanya mendapatkan kasih sayang dari seorang Ibu dan jarang sekali mendapatkan kasih sayang dari sang ayah.
“Anak Mama makan yang banyak ya sayang,“ lirih Marisa sembari menambahkan nasi kepiring Tia serta lauk kesukaannya.
“Ia, Ma, Tia makan yang banyak kok, “
“Anak Mama emang pinter.”
“Anak Mama.”
Temaram bulan meninari malam hari, Tia duduk sendiri disudut kamar, tiba-tiba terdengar suara memanggil namanya.
“Tia, Tia, ih kamu teh kenapa ngelamun wae dikamar,“ sapa Rani ramah seraya bertanya.
“Sok atuh si eneng cerita, siapa tau bisa mengurangi beban dinahate,”
“Apaan sih, apanya yang mau diceritain, aku gak masala, cumin lagi males aja,” singkat Tia kepada Rani.
“Ngomong-ngomong gimana hubunganmu sama Aa Ilmi, dah lama gak liat dia,”
“Gak tau kemana, dah bahagia kali sama cewek lain,”
“Lah, kok gitu?,“ tanya Rani ingin tahu.”
“Ya, gitu, kenapa sih kok kepo banget,“ cetus Tia. Rani pun terdiam membelakangi Tia,”
“Pantesan aja Aa Ilmi teh nembak urang, hemm kasian teh Tia,”
“Heeee, aya naon diem wae,“ ucap Tia, menggugah lamunan Rani.
“Apaan sih, teh Tia tuh kenapa murung dikamar sendirian aja, mendingan kita keluar, ke Mall atau kemana gitu,”
“Gak mau ah, mau dirumah aja, lagi gak mood mau keluar,“ sahut Tia seraya menolak dengan halus ajakan Rani.
“Eeee ada neng Rani rupanya, dah lama neng,“ sapa Marisa Ibunda Tia.
“Belum nyak, barusan aja, ni mau ngajakin teh Tia jalan-jalan keluar, nyari angin,“ sahut Rani.
“Sok atuh keburu malem,“ ujar Marisa memberi ijin kepada kedua Putri itu.
Tanpa menunggu lama Rani pun menarik pergelangan tagan Tia, tidak ada upaya untuk menolak lagi, Tia pun beranjak dan keluar bersama dengan Rani. Setibanya ditaman Kota, tiba-tiba Rani melihat Ilmi duduk sendiri dikursi taman.
“Waduh celaka nih, aya Aa Ilmi,“ pikir Rani saat melihat Ilmi ditaman.
“Teh, kesana aja yo, kayanya lebih asyik duduk di pinggir kolam,“ ajak Rani sambil menggandeng tangan Tia, hal itu dilakukan Rani untuk menghindari Ilmi, yang sama-sama berada ditaman. Diperjalan Rani hanya berjibaku dengan perasaannya sendiri. Ya, bagaimana tidak, Rani sejatinya sangat mencintai Ilmi, namun disisi lain, Tia yang juga sahabatnya lebih dulu mengunci hati Ilmi, Rani hanya mampu menghindari Ilmi demi Tia.
“Sebenernya apalah yang terjadi pada diriku ini ya allah, Rani menghilang, Tia ku lepas, sebenernya siapa yang aku cinta, siapa……,“ kecamuk hati Ilmi sambil memangku dagu dengan tangannya.
Hubungan asmara Ilmi dan Tia nampaknya akan sulit diperbaiki, sebab Ilmi segera memilih Rani. Rani merupakan cinta yang tertunda saat masih duduk di bangku sekolah, kendati Rani memiliki perasaan yang sama terhadap Ilmi, namun Rani hanya bisa menunggu dan menunggu ungkapan hati Ilmi, hingga akhirnya Rani harus menyendiri tanpa kepastian. Meskipun waktu kuliah, banyak lelaki yang menyukainya, namun Rani tetap dengan kesendiriannya, berharap Ilmi menjadi miliknya disuatu saat nanti. Namun sayangnya ketika Rani pulang dari Bandung setelah wisuda, Rani mengetahui bahwa Ilmi sudah berhubungan dengan Tia sahabat karibnya. Bukan kepalang sakitnya perasaan Rani saat tau Tia sudah pacaran selama 9 tahun sejak SMA, kala itu Ilmi yang dia tahu pendiam dan selalu memberikan perhatian kepadanya, namun cinta keduanya belum terwujud dalam sebuah ikatan asmara.
“Ngomong-ngomong emang teh Tia beneran sudah putus sama A Ilmi,“ tanya Rani lirih ingin tahu,
“Gak tau juga sih, waktu di Gunung Pantjer kak Ilmi mutusin aku, tapi belum kuterima keputusan dia,“ jawab Tia tertunduk.
“Ran, loe tahukan gue sayang banget sama dia, disinilah di taman ini pertama kali dia nembak gue, di samping taman bunga air mancur, dia janji bahwa dia gak akan ngecewain gue selamanya, tapi kenapa coba sekarang dia mutusin gue tanpa sebab gini,“ kesah Tia tertunduk.
anpa disadari air telaga dipelupuk mata Tia mengalir tidak bisa dibendung lagi. Rani pun hanya terdiam dan menegelus bahu Tia dengan lembut, sembari mengeluarkan Tissue dari dalam tasnya.
“Seandainya loe tau teh, gue juga sayang banget sama dia, tapi gue sabar, gue juga sakit banget ketika gue tau loe pacaran sama A Ilmi,“ lamun Rani dalam hati.
“Rani…, kok loe diem bae sihhh,”
“Lah urang geh harus gimana teh,”
“Loe tahu kan rasanya dada penuh dengan jarum, sakitnya gimana,”
“Teh Tia, gue ngerti kok, tapikan teteh harus sabar, kali aja dia lagi emosi, teteh mah harus sabar atuh,”
“Sabar loe bilang, harus sabar gimana lagi coba gue?, sabar wae iye mah nyeri dina hati, ngerti gak sih loe Ran…”
“Ya, terus gue harus gimana atuh teh?,”
Rani pun tak tau harus berbuat apa untuk menyeka air mata Tia. Malam terus larut kedua remaja putri itu masih tidak bergeming dari tempat duduknya.
“Ini para gadis kok belum pada pulang sih, udah malem begini belum juga pulang,“ rasa khawatir Ibunda Tia tidak dapat dipungkiri, ia menunggu putrinya pulang sambil duduk diteras rumah.
“Sebenernya teh Tia nih udah putus belum sih, jadi kepo gini, kalau aja bener sudah putus, berarti ada kesempatan dong jadian sama Aa Ilmi,“ kata hati Rani dan tersenyum-senyum sendiri diguratan malam dan remanganya sinar lampu taman.
Perlahan waktu terus larut, angin malam semakin menusuk pori-pori tubuh.
“Ran, balik yo dingin nih, lagian dah malem, pasti ditungguin sama ibu,“ kata Tia seraya mengajak Rani pulang.
“Hayo ah,“ jawab Rani mengiyakan. Setibanya dirumah Tia langsung rebahan, tak terasa Tia pun terlelap dengan pulas.
“Ya ampun anak Mama, kasian banget kamu nak, semoga kamu cepat move on dari Ilmi,“ kata dalam hati Marisa sembari memandangi wajah polos dan mengelus kening Tia, lalu ia pun menyelimuti tubuh Tia. ||