Oleh Pinnur Selalau
Bantuan sosial dalam pengertiannya berdasarkan Permendagri Nomor 32 Tahun 2011 tentang Pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, adalah pemberian bantuan berupa uang/barang dari pemerintah daerah kepada individu, keluarga, kelompok dan atau masyarakat yang sifatnya tidak secara terus menerus dan selektif yang bertujuan untuk melindungi dari kemungkinan terjadinya resiko sosial.
Sedangkan pengertian “resiko sosial” adalah kejadian atau peristiwa yang dapat menimbulkan potensi terjadinya kerentanan sosial yang ditanggung oleh individu, keluarga, kelompok dan atau masyarakat sebagai dampak krisis sosial, krisis ekonomi, krisis politik, fenomena alam dan bencana alam yang jika tidak diberikan belanja bantuan sosial akan semakin terpuruk dan tidak dapat hidup dalam kondisi wajar.
Secara umum peraturan tersebut telah mengakomodir mengenai bantuan sosial, dari mulai tata cara pengajuan, tata administrasi sampai dengan pelaporan, namun secara teknis menurut penulis perlu mekanisme yang lebih “tepat guna dan tepat sasaran“ karena tujuannya berdasarkan pengertiannya yaitu untuk melindungi dari kemungkinan terjadinya resiko sosial, dalam arti bahwa pemberian bantuan sosial itu bersifat sebagai “pencegahan” bukan penanggulangan karena kata “melindungi” dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) diartikan sebagai pertama menutupi supaya tidak terlihat atau tampak, kedua menjaga, merawat atau memelihara. Dengan pengertian tersebut jelas bahwa melindungi adalah upaya pencegahan apalagi diformulasikan menjadi kalimat “melindungi dari kemungkinan terjadinya resiko sosial”.
Hal ini penting disampaikan karena selama ini terdapat pemahaman di daerah bahwa pemberian bantuan sosial dapat dilaksanakan apabila terdapat unsur resiko sosial sehingga jika tidak memenuhi unsur tersebut bantuan sosial yang diajukan tidak dapat diberikan.
Tapi yang membuat semua bingung, yaitu bansos diterima oleh Ibu PKK, Sekertaris dan Perangkat Desa?
Aneh… tapi ini nyata…