Lampung7.com – Akhir-akhir ini, Samsung sibuk meredakan rumor dan merendahkan ekspektasi orang-orang. Beberapa bulan setelah mereka mengumumkan kerugian kuartal sebesar 25 persen, Samsung hari ini memperingatkan perkiraan penurunan keuntungan sebesar 60 persen untuk laporan kuartal ketiga tahun ini.
Poin yang diutarakan Samsung yaitu “penurunan dalam bisnis mobile dikarenakan kompetisi smartphone yang semakin ramai” menjadi kambing hitam. Karena Samsung mengambil 60 persen dari total keuntungan bisnis mereka dari penjualan perangkat mobile, di sektor inilah mereka paling merugi.
Berikut lima masalah spesifik yang sedang dihadapi Samsung di ranah perangkat mobile:
1. Beberapa produsen smartphone Asia baru sedang naik daun
Kabar buruk bagi Samsung (005930:KS) adalah beberapa perusahaan dari China yang namanya susah diucapkan seperti Xiaomi dan Huawei. Perusahaan ini telah menyadari bahwa mereka mampu menghasilkan smartphone dengan kualitas premium, namun dengan banderol harga sebesar USD 300 (Rp 3,6 juta) saja, menikung smartphone flagship Samsung seperti Galaxy S5 dan Galaxy Note 4.
Xiaomi Mi 4 yang baru, misalnya, mempunyai harga RMB 2.000 (Rp 3,9 juta) di China, namun memiliki spesifikasi dan kualitas hardware yang secara keseluruhan setara dengan Samsung Galaxy S5 yang mempunyai harga RMB 4.500 (Rp 8,9 juta) di negara tersebut. Perusahaan penelitian Canalys mengutarakan bahwa Xiaomi dapat mengalahkan Samsung dalam segi penjualan untuk kali pertamanya tahun ini.
Xiaomi Mi 4 adalah sebuah kejutan manis di tengah persaingan smartphone 3 jutaan (REVIEW)
Pemandangan ini terulang di pasar besar lainnya dimana Samsung hampir kehilangan kedigdayaannya seperti India. Di India, produsen smartphone lokal seperti Micromax dan Karbonn menikung posisi Samsung dengan smartphone yang lebih terlokalisasi dan mempunyai harga yang lebih terjangkau serta menggiurkan.
Tren ini dimulai di Asia, dan kini sudah merambah ke pasar lain berkat Motorola yang telah direvitalisasi. Ditambah lagi, merek Asia baru seperti OnePlus dan Xiaomi kini mulai mengekspor smartphone flagship terjangkau mereka secara global. Ini tentunya akan semakin mempersulit bisnis smartphone Samsung yang sangat penting.
2. Samsung sangat mudah ditiru
Samsung mengambil status merek smartphone yang paling dicintai di China dari HTC. Dengan minimnya loyalitas pengguna di dalam pasar Android, waktu bertahan status tersebut bisa dibilang sama pendeknya dengan menjadi seorang perdana menteri di Italia.
Hal ini dikarenakan bisnis smartphone Samsung sangat mudah untuk ditiru. Rakit komponen hardware, terapkan skin Android, dan beri pengguna dengan banyak sekali layanan web yang dipasang secara default di dalam smartphone.
Kondisi ini sama seperti pasar PC. Dan hal tersebut tidak berhasil bagi HP. Bisnis smartphone Samsung saat ini sedang dalam dilema yang sama. Yang kemudian membawa kita pada problem selanjutnya: harga…
3. Harga-harga semakin turun
Semua produsen Asia baru tersebut di atas mengetahui apa yang diinginkan oleh pengguna, yaitu harga yang lebih murah. Karena itu Xiaomi dan OnePlus menetapkan kisaran harga USD 300 (Rp 3,6 juta) sebagai titik harga premium mereka – setengah dari banderol harga high-end sebesar USD 700 (Rp 8,5 juta) sampai USD 1.000 (Rp 12 juta) yang diadopsi Samsung dan Apple
Kini, kisaran harga USD 150 (Rp 1,8 juta) hingga USD 350 (Rp 4,2 juta) adalah harga yang normal bagi sebuah pasar berkembang. Sementara smartphone dengan harga USD 100 (Rp 1,2 juta) masih terlihat agak kasar, memiliki layar yang kecil, dan didera dengan masalah kualitas, Anda hanya perlu merogoh kantong lebih dalam yakni sebesar USD 300 (Rp 3,6 juta) untuk membeli sebuah smartphone mumpuni dengan layar seluas 5 inci atau lebih. Anda tidak perlu melewati kisaran harga USD 600 (Rp 7,2 juta) atau lebih untuk mendapatkannya.
Hal ini membuat smartphone flagship Samsung yang mahal terlihat tidak kompetitif. Dan alhasil, smartphone mid-range mereka terlihat lemah jika dibandingkan dengan apa yang dapat ditawarkan sebuah smartphone dengan harga USD 200 (Rp 2,4 juta) sampai USD 300 (Rp 3,6 juta) di pasaran.
Masalahnya di sini, ucap Ben Thompson dari Stratechery, adalah ubikuitas. “Implikasi dari sebuah smartphone menjadi kebutuhan alih-alih keinginan adalah tekanan penurunan dalam rata-rata harga penjualan untuk dua alasan,” tulisnya. Kedua alasan tersebut adalah:
- Pembeli yang memiliki pendapatan rendah yang biasanya tidak membeli perangkat elektronik atau perangkat komputasi lainnya akan masuk ke dalam pasar smartphone, dan akan membeli model dengan harga rendah sebagai sebuah kebutuhan;
- Pembeli yang memiliki penghasilan tinggi yang tidak tertarik dengan perangkat elektronik atau perangkat komputasi lainnya akan masuk ke dalam pasar smartphone dan membeli model dengan harga rendah sebagai sebuah pilihan.
Tekanan harga tersebut akan membuat pasar high-end menurun dalam jangka waktu terdekat ini.
4. Perangkat high-end Samsung tidak terlalu berkelas
Lalu mengapa Samsung mengalami kerugian sedangkan Apple tidak? Itu karena Apple memiliki ciri khas dan memiliki niche yang kuat. Apple sama seperti Mercedes-Benz, ungkap Ben dalam postingan yang sama. Apple puas berada dalam posisi unik tersebut dan tidak perlu menjadi best-seller di dalam pasar.
Akan tetapi, Samsung merambah semua hal, dan ia tidak dapat membangun ciri khas seperti yang dimiliki Apple. Samsung masih dikritik untuk smartphone-nya yang masih menggunakan plastik ketika smartphone lain dengan tampilan lebih baik dan terkesan premium seperti iPhone 6 dan HTC One M8 terlihat seperti sebuah permata yang bersinar.
Plastik ini membuat smartphone Samsung terlihat dan terkesan persis seperti saingannya yang mempunyai harga jauh lebih rendah.
Ada juga faktor membingungkan dari lini produk raksasa Korea ini. Samsung memiliki banyak sekali model smartphone sampai akan ada acara TV kocak di Korea yang menampilkan para petinggi Samsung untuk memeriksa smartphone mereka dan menebaknya hanya dalam waktu 20 detik saja – atau jika gagal mereka akan dijatuhkan ke dalam kolam berisi cairan kental berwarna hijau. Apakah itu Galaxy Mega? Atau Galaxy Grand 2? Atau Galaxy Grand Prime? Atau Galaxy Core, atau Galaxy S Duos, atau Galaxy Ace, atau Galaxy Young, atau Galaxy Y, atau Galaxy Y Plus, atau Galaxy K, atau Galaxy Note 3, atau Galaxy Alpha, atau Galaxy S5 Mini Duos, atau Galaxy ACE, atau Galaxy Star 2 Plus, atau Galaxy W? Saya mengarang salah satu seri smartphone tersebut – selamat menebak.
5. Touchwiz memerlukan “operasi plastik”
Yang ini dapat menjadi bahan perdebatan dan sedikit subjektif, namun beberapa orang mungkin setuju bahwa Touchwiz, ekosistem dan user interface milik Samsung, memerlukan sebuah “operasi plastik” – atau sekalian saja dimatikan. “Android tanpa software Samsung jauh lebih baik daripada Android yang berisi software Samsung,” sebuah pernyataan yang mengakhiri review Galaxy Alpha yang ditulis The Verge. Mengulangi dari apa yang terdapat dalam review smartphone Samsung, penulisnya menyadari bahwa Touchwiz UI sangatlah berantakan, canggung untuk digunakan, dengan “penambahan tampilan tidak berguna seperti agregator berita Samsung, My Magazine.”
Dalam review dari The Verge untuk perangkat-perangkat Samsung, skor mereka untuk ‘design’ dan ‘software’ selalu rendah – biasanya yang paling rendah dari semua parameter yang diuji. Namun Samsung secara perlahan mengikuti saran-saran ini.
Penambahan yang dilakukan Samsung pada Android juga menghasilkan sebuah sistem operasi yang membengkak. Pada Galaxy S5, sistem operasi ini mengambil jatah kapasitas penyimpanan data sebesar 8 GB – setengah kapasitas jika Anda membeli versi 16 GB. Sebaliknya, jika Anda membeli Xiaomi Mi 4 (yang menggunakan skin MIUI di atas Android), Anda akan mendapatkan ruang bebas sebesar 12,11 GB (menggunakan MIUI V5 karena V6 belum dirilis untuk umum).
Kompetitor Samsung yang mempunyai harga smartphone lebih rendah melakukan pekerjaan yang lebih baik daripada perusahaan Korea tersebut. MIUI dari Xiaomi terlihat jauh lebih baik dan tidak intrusif serta tidak mengganggu; OnePlus mendekati Android murni dengan menggunakan CyanogenMod. Produsen smartphone India juga membuat skin mereka lebih sederhana, meskipun mungkin dikarenakan kurangnya pengalaman. Android cukup kuat untuk berdiri sendiri dan hanya memerlukan beberapa aplikasi bantuan, bukan perusakan yang dilakukan Touchwiz pada sistem operasi milik Google tersebut.