Ketika Sastra Dijadikan Sebagai Alat Perjuangan Anak Bangsa

IMG 20221101 WA0084 e1667355959140
IMG 20221101 WA0084 e1667355959140

LAMPUNG7COM | Dalam keterangannya, Selasa, 1 November 2022, Norman Alfarizy, seorang penulis muda yang nyambi sebagai aktivis ini menjelaskan dengan panjang lebar,

“Sastra bagi sebagian besar orang mungkin hanya dipahami sebagai sebuah hobi atau kesenangan belaka. Bagi mereka yang suka membaca, karya sastra bisa menjadi sarana atau media. Dengan membaca karya sastra, mereka akan memperoleh semacam kepuasan intelektual. Karya sastra yang dalam anggapan masyarakat awam identik dengan puisi, cerpen, novel, maupun essei, hanyalah sebuah karya fiksi dan menjadi hiburan semata, semacam pengisi di waktu senggang.”

“Namun bagi sebagian orang lagi, sastra adalah pilihan. Sastra adalah gaya hidup. Sastra adalah passion. Kategori ini adalah bagi mereka yang memiliki hobi dan bakat menulis dan bercita-cita menjadi seorang penulis besar. Konsistensi mereka dengan menulis karya sastra kelak akan menobatkan mereka dengan beberapa predikat dan julukan yang populer di tengah masyarakat awam. Misalnya Sastrawan, Penyair, Cerpenis, Novelis, Dramawan atau bahkan Budayawan,” tambahnya.

Lebih lanjut Norman Alfarizy menjelaskan, “Sangat sedikit sekali orang yang menjadikan sastra sebagai alat perjuangan, padahal sejatinya sejarah dunia dan sejarah Indonesia mencatat bahwa sastra memiliki peranan besar bagi perjuangan bangsa. Sebut saja Rabindranath Tagore di India, Muhammad Iqbal di Pakistan, Jose Rizal di Philipina, dan beberapa Sastrawan Amerika latin. Begitu juga Sastrawan Nusantara sebelum era kemerdekaan, seperti Amir Hamzah, Muhammad Yamin, Sutan Takdir Alisyahbana, dan tentu saja Chairil Anwar, meski nama yang disebut terakhir ini masih diperdebatkan kiprah dan konsistensinya dalam perjuangan membela bangsa, kontroversi tentangnya lebih dominan mewarnai hidup si binatang jalang ini. Lewat karya sastra, para Sastrrawan ini menyuarakan dan menggelorakan semangat anak bangsa yang berjuang melawan koloni dan penjajahan. Bahkan Muhammad Yamin sendiri telah mendedikasikan hidupnya hanya untuk perjuangan bangsa.”

“Mungkin masa itu telah berlalu, tetapi semangat revolusi zaman itu tetap layak dan relevan untuk ditiru. Di zaman setelah kemerdekaan ini, masihkah sastra memiliki peran sebagai alat perjuangan? Jawabnya tentu saja masih ada peran tersebut,” lanjutnya.

“Perjuangan sesungguhnya tak pernah selesai. Perjuangan melawan ketidakadilan, perjuangan melawan kesewenang-wenangan, perjuangan melawan korupsi, perjuangan melawan intervensi modal asing, perjuangan melawan hegemoni pasar bebas yang saat ini dikuasai oleh sekelompok kapitalis dunia, bahkan juga perjuangan melawan hawa nafsu dan kerakusan diri kita sendiri sehingga terjadi ketimpangan sosial dan kemiskinan moral di sekitar lingkungan kita. Sesungguhnya kesewenang-wenangan, kezaliman, dan penindasan itu selalu terjadi di setiap masa dan dalam setiap keadaan,” tandasnya.

Lebih jauh lagi Norman Alfarizy menegaskan, “Kita telah melihat seorang W.S Rendra dengan lantang bersuara tentang banyaknya ketimpangan sosial yang terjadi di Republik ini. Bahkan seringkali si burung merak ini harus berurusan dengan pihak yang berwajib karena kritik-kritiknya yang tajam dan pedas terhadap penguasa lewat puisi dan teater. Begitu juga Wiji Thukul. Aktivis dan Penyair muda ini telah menjadi korban penculikan akibat puisi puisinya yang tajam mengkritik pemerintah pada saat itu, bahkan sampai saat ini keberadaannya masih menjadi misteri. Rendra dan Thukul barangkali sekadar contoh konkrit betapa sastra masih memiliki peran penting sebagai alat perjuangan. Kita memang tidak harus mengambil sikap frontal seperti Rendra dan Thukul yang begitu jelas dan tegas memposisikan diri mereka sebagai kontrol sosial bagi pemerintah yang berkuasa pada saat itu, dan keberpihakan mereka kepada rakyat kecil yang termarginalkan. Bisa saja kita menyuarakan yang lain dengan kelembutan, ketegasan atau satire tentang nasib kaum miskin dan papa, tentang realitas sosial yang timpang, atau tentang hati nurani yang terbelenggu, dengan banyak cara berdasarkan kemampuan dan selera bahasa yang kita miliki dan nikmati. Ya, kita tidak harus menjadi orang lain. Kita tetap bisa dengan bebas dan lantang tanpa kehilangan identitas diri kita sendiri.”

“Sangat mulia sekali jika karya sastra yang sejatinya memiliki jangkauan luas karena sastra sebagai bentuk tulisan yang banyak dibaca oleh masyarakat mulai menempatkan dirinya dengan mengambil peranan sebagai alat perjuangan anak bangsa, dan tentu saja dengan tidak mengabaikan unsur etika dan estetikanya,” pungkasnya. | Red.

 


Eksplorasi konten lain dari LAMPUNG7.COM

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

    Tulis Komentar Anda