Tanggamus | Petinggi Adat Kepaksian Buay Belunguh, Paksi Pak Skala Bekhak Yanuar Firmansyah, Gelar Suttan Junjungan Sakti ke 27 angkat bicara terkait sengketa tanah Ulayat Marga Buay Belunguh yang berada di Kabupaten Tanggamus, Lampung, Jum’at (10/2/2023).
“Saya dari Pekon Kenali Lampung Barat, turun langsung di Kabupaten Tanggamus untuk menghadiri undangan Bupati Tanggamus dan Forkompinda untuk mendampingi para penyimbang adat yang berada di Kabupaten Tanggamus.
Karna ingin mengetahui langsung tanah leluhur marga Buay Belunguh yang pernah dipakai oleh PT Tanggamus Indah (PT TI) dan izin HGU nya telah habis sejak 30 Desember 2020 yang lalu,” ujarnya.
Untuk itu menurut Suttan Junjungan Sakti ke 27, Bupati Tanggamus Dewi Handajani yang merupakan orang nomor satu di Kabupaten Tanggamus agar memperhatikan dan mengakomodir keinginan masyarakat adat Marga Buay Belunguh Tanggamus, terhadap hak atas tanah Ulayat.
Lebih Lanjut Pun Yanuar sapaan akrab Suttan Junjungan Sakti ke 27 mengatakan bahwa tanah eks PT TI itu bukan tanah terlantar atau tidak bertuan tapi ada pemiliknya.
“Menurut sejarahnya, Tanah Ulayat Adat eks PT TI adalah milik Marga Buay Belunguh, dan di pinjamkan kepada PT Tanjung Jati kemudian beralih ke PT Tanggamus Indah, dan HGU nya telah berakhir tanggal 30 Desember 2020,” jelasnya.
Lebih lanjut Yanuar Firmansyah mengungkapkan, bahwa bahasa atau pernyataan Bupati dan Kepala BPN Kabupaten Tanggamus saat pertemuan diruang rapat Bupati beberapa waktu yang lalu sangat menyinggung perasaan para tokoh Adat Marga Buay Belunguh.
“Dari bahasa Bupati dan Kepala BPN Kabupaten Tanggamus yang menyatakan tanah eks PT TI adalah menjadi milik Negara, itu membuat tokoh adat dan seluruh Penyimbang Adat Marga Buay Belunguh tersinggung dan tanda tanya besar, karena itu bukan tanah terlantar atau tanah tak bertuan, itu tanah Ulayat Marga Buay Belunguh warisan dari leluhur kami,” ungkapnya.
Ditempat berbeda, Ketua Tim penyelesaian sengketa tanah Ulayat Marga Buay Belunguh Tanggamus Irjen Pol (Purn) DR. Ike Edwin S.IK., SH., MH., MM, atau yang akrab disapa Dang Ike mengatakan bahwa penggunaan tanah Ulayat oleh para investor sering kali menimbulkan perselisihan.
“Penggunaan tanah ulayat oleh para investor, seringkali menimbulkan perselisihan. Hal ini disebabkan karena penggunaannya tidak sesuai dengan yang seharusnya. Menurut hukum pertanahan di Indonesia, penggunaan lahan oleh para investor harus berhadapan langsung dengan pemilik tanah atau masyarakat adat sebagai pemilik hak ulayat dengan melaksanakan kesepakatan,” ujarnya.
Masih menurut Dang Ike, “Namun pada kenyataannya, para investor justru langsung mendapatkan tanah tersebut melalui Pemerintah. Akibatnya masyarakat sebagai pemilik mengajukan protes atas kegiatan investor di atas tanah mereka yang kemudian hal ini memicu timbulnya perselisihan tanah ulayat,” katanya.
Bahkan menurutnya, “Fenomena sengketa tanah yang muncul, baik sengketa antara pemerintah dengan masyarakat, masyarakat dengan investor, pemerintah dengan pemerintah maupun masyarakat itu sendiri semakin intensif. Sebagian besar muncul sebagai akibat kerugian tanah untuk kepentingan pembangunan infrastruktur, industri, pariwisata maupun perkebunan skala besar,” ungkapnya.
Selanjutnya menurut mantan Kapolda Lampung itu, sesuai dengan Peraturan Menteri ATR/BPN no 18 tahun 2021
BAB I Ketentuan Umum Pasal 1 yang berbunyi.
“Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan: Tanah Negara atau Tanah yang Dikuasai Langsung oleh Negara yang selanjutnya disebut Tanah Negara adalah tanah yang tidak dilekati dengan sesuatu Hak Atas Tanah, bukan tanah wakaf, bukan Tanah Ulayat dan/atau bukan merupakan aset barang milik negara/barang milik daerah,” imbuhnya.
Lebih jauh Peraih Penghargaan Kapolda terbaik penanganan konflik itu mengatakan,
“Tanah di Indonesia diatur dalam UUPA No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang di dalamnya menyerap hukum adat, yaitu diakuinya hak Ulayat sebagaimana yang tertuang dalam pasal 5 UUPA,” katanya.
Mantan Staf Ahli Kapolri dan mantan Dirtipikor Mabes Polri itu menjelaskan bahwa tanah hak ulayat pada prinsipnya merupakan tanah yang tidak boleh dialihkan kepemilikannya dengan metode jual-beli ataupun dengan cara lain seperti pembebasan tanah untuk kepentingan pemerintah yang tidak dilakukan oleh Masyarakat Hukum Adat.
“Terjadinya konflik pengalihan Tanah Hak Ulayat di sebabkan masyarakat hukum adat mempertahankan sebagai pemilik bersama hak komunal bagi seluruh masyarakat hukum adat yang tidak dapat dialihkan,” jelasnya.
Tanah merupakan harta yang paling pertama dan utama bagi masyarakat hukum adat, mengingat masyarakat hukum adat ialah masyarakat agraris yang hidup bergantung pada tanah.
“Jika kita membahas tentang tanah, secara tidak langsung kita membicarakan manusia atau dengan kata lain bahwa setiap kita membicarakan eksistensi manusia secara tidak langsung ketika kita membicarakan tanah,” tambahnya.
Ike Edwin menerangkan, “Penyelesaian konflik Tanah Hak Ulayat dapat dilakukan dengan menggunakan hukum adat, dengan melibatkan masyarakat hukum adat sejak awal. Selama ini, pengalihan tanah hak ulayat menggunakan hukum agraria dan cenderung merugikan masyarakat hukum adat.” Pungkasnya. | Tim.
Harapan saya sebagai rakyat jelata yang tidak terlepas dari kaitan adat marga buai belunguh mengharapkan dengan sangat agar forkompinda, berlaku adil dengan se adil adil nya, kalau toh itu memang tanah ulayat adat, kenapa diakui sebagai tanah negara, acuan telah menyatakan dengan gamblang bahwa tanah yang diakui sebagai tanah negara itu adalah tanah adat. Sekali saya minta tolong kepada forkompinda untuk berlaku adil dengan se adil adil nya supaya hal semacam ini tidak berlarut larut.