Salai Vakok (23) juga berada di Chin, mulai mengumpulkan senapan berburu di daerah asalnya di Mindat sesaat setelah militer mulai menembaki para pengunjuk rasa pada pertengahan Februari lalu.
“Kami biasa berharap orang dari luar negara kami akan berjuang untuk kami, tapi itu tidak pernah terjadi,” ujar mantan pekerja pengembangan komunitas ini.
“Saya tidak pernah berpikir dalam hidup saya akan memegang senjata, tapi dengan cepat saya berubah pikiran setelah mengetahui pembunuhan orang tanpa senjata, warga sipil tidak berdosa di seluruh negeri dan khususnya di kawasan dataran rendah. Saya tidak bisa terus diam. Untuk membalas pahlawan yang gugur dan menunjukkan solidaritas, saya memutuskan angkat senjata.”
Tatmadaw merespons perlawanan sipil bersenjata ini dengan serangan udara dan darat dan dengan menghalangi akses bantuan, makanan dan pasokan bahan kebutuhan untuk warga sipil di wilayah etnis. Hampir 230.000 orang melarikan diri dari rumahnya sejak kudeta, banyak bersembunyi di hutan.
Di Kayah dan negara bagian Shan, di mana pejuang sipil bergabung dengan kelompok bersenjata etnis lokal melakukan pertempuran 10 hari pada akhir Mei, yang mereka klaim telah membunuh 120 pasukan junta, di mana militer menembak mati para relawan bantuan kemanusiaan yang mengantarkan bantuan makanan dan juga menembak pengungsi yang kembali ke daerah mereka untuk mengambil beras dan kebutuhan lainnya. Pada 24 Mei, pasukan junta menembakkan artileri ke sebuah gereja Katolik di mana 300 orang mengungsi, menewaskan empat orang.
Pada 9 Juni, ahli PBB memperingatkan kematian massal akibat kelaparan, penyakit, dan paparan lainnya di Negara Bagian Kayah setelah militer memutus akses makanan, air, dan obat-obatan untuk lebih dari 100.000 warga sipil yang mengungsi.
Daerah Mindat juga menghadapi darurat kemanusiaan setelah Tatmadaw merespons pertahanan sipil dengan menyerang kawasan penduduk pada pertengahan Mei dan memblokir persediaan makanan dan air untuk para pengungsi. Tatmadaw juga dituding menangkap warga sipil dan memanfaatkan mereka sebagai perisai manusia untuk menghadapi para pejuang perlawanan sipil ini.
Salai Vakok mengatakan serangan tersebut telah memperkuat tekadnya untuk terus berjuang, tapi saat ini dia masih dalam masa pemulihan setelah terluka akibat tembakan artileri bulan lalu.
“Ketika saya sembuh, saya telah membuat keputusan bulan untuk tetap berjuang apapun yang terjadi sampai rezim kalah,” ujarnya kepada Al Jazeera.