Opini Oleh: Pinnur Selalau
TIDAK terasa 2022 akan meninggalkan kita. Fajar 2023 sebentar lagi tiba. Biasanya kita bikin resolusi sekaligus refleksi agar masa-masa yang akan dilewati lebih baik. Keburukan-keburukan tahun silam menjadi pelajaran dan tidak kembali terulang.
Bukankah konsep diri kita baik sebagai pribadi, makhluk sosial, atau bagian dari tubuh kebangsaan dirumuskan kecermatan memaknai waktu. Waktulah, secara definitif yang mengonstruksi ‘ada’ kita. Berfaedah atau tidak tergantung pada sejauh mana waktu yang ada di tangan difungsikan.
Konon, sesal kemudian tak lagi membawa arti. Peribahasa ini meneguhkan tentang seseorang atau bangsa, yang sama sekali tidak memiliki visi ke depan sehingga waktu dibiarkan begitu saja berlalu. Padahal, waktu tidak mungkin berhenti. Terus melaju. Tua tidak bisa ditampik. Waktu mengalir tak ubahya air.
[sc name=”bacajuga” ][/sc]Dalam konteks kebangsaan, frasa ‘orde’ biasanya digunakan untuk menandai pergantian rezim, lengkap dengan identitas yang dilekatkannya. Sebagai penanda satu dan lainnya. Tersebutlah ‘Orde Lama’ yang biasa kita nisbahkan kepada Bung Karno, terutama pada akhir masa kekuasaannya. Orde ketika politik begitu bergemuruh.
Politik sebagai panglima. Partai menjamur dan sempat melakukan pemilu pada 1955 sebelum akhirnya diberangus. Dekrit Presiden diterbitkan (1959), sekaligus diperkenalkan GBHN yang meliputi UUD 1945, sosialisme Indonesia, demokrasi terpimpin, ekonomi terpimpin, dan kepribadian Indonesia (USDEK). Demokrasi terpimpin diterapkan. Kekuasaan relatif berada pada satu tangan Soekarno. Rute politik dialaskan pada tiga kekuatan nasionalisme, Islam, dan komunisme (Nasakom).
Sementara itu, falsafah Pancasila ditafsirkannya, seperti tampak pada tujuh bahan pokok indoktrinasi (Tubapi). Lawan-lawan politiknya dipenjarakan. Akhirnya, berujung pada pemakzulan. Lewat Surat Perintah Sebelas Maret yang sampai hari ini naskah autentiknya belum ditemukan. Selepas Orde Lama, Orde Baru dikibarkan. Lagi-lagi kesalahan sama dilakukan. Kekuasaan terpusat pada Soeharto. Sementara itu, Pancasila yang mestinya menjadi ideologi terbuka, di tangan BP7 lewat P4, penafsirannya dimonopoli, dan akhirnya menjadi alat pengontrol mereka yang berbeda dan dianggap menyimpang.
Orde reformasi, terutama pada periode pertama Joko Widodo, Pancasila dihidupkan kembali melalui lembaga UKP-PIP (Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila) yang sekarang berubah menjadi BPIP (Badan Pembinaan Ideologi Pancasila).
Namun, sampai saat ini saya belum menemukan peta jalan sekaligus trayek strategis BPIP dalam meneguhkan Pancasila, bukan hanya sebagai lem ideologis. Namun, inspirasi bagi penguatan politik berkeadaban, ekonomi berkeadilan, dan nasionalisme yang inkulsif.
BPIP semestinya menjadi garda terdepan dalam meretas jalan keberagamaan yang moderat (wasathiyah), menginjeksikan pemahaman bahwa hidup rukun ialah halaman depan bangsa Indonesia.
Tahun Digital
Tahun-tahun ke depan yang akan kita jejaki, dalam konteks era digital, tentu tidak semakin mudah, bahkan semakin sulit diramalkan. Namun, kenyataan seperti ini tidak boleh kemudian bikin kita pesimistis. Selalu ada jalan yang bisa kita tempuh kalau ada kemauan.
Hari ini dan ke depan, perjumpaan di dunia maya jauh lebih sering dilakukan ketimbang keterlibatan di dunia nyata. Setelah ‘dunia terlipat’ kita justru sering berada dalam lipatan itu dan tertimbun bongkahan big data tanpa paham harus diapakan data itu. Dikepung informasi yang datang bertubi-tubi lewat WA, Facebook, Twitter tanpa ada jeda, untuk sekadar merenungkannya secara tenang. Semua berjalan tergesa-gesa.
Kita dipaksa untuk memiliki bukan hanya kecerdasan intelektual, emosional (emotional quotient), spiritual (spiritual quotient), melainkan juga kecerdasan artifisial (artificial intellegence). Yang terakhir, artificial intellegence, sejenis kecerdasan yang dicangkokan pada jantung digital, keterampilan mengelola kelimpahan data, dan kecanggihan menghubungkan algoritma sosial menjadi energi positif untuk membangun kekitaan. Memasuki era 4.0 kita tidak bisa melepaskan diri dari internet.
Kata Alvin Tovler (1980), setelah melewati gelombang era agraris (sekitar 800 SM-1700 M), era industri (1700-197), hari ini memasuki era informasi (1979-sekarang).
McLuhan lebih spesifik lagi, menelusuri evolusi teknologi manusia pada empat babakan. Pertama, the trible age (era purba indra pendengaran menyelesaikan sepenuhnya persoalan manusia). Kedua, the age of literacy, (ditandai dengan ditemukannya huruf yang mampu menggeser indra pendengaran pada penglihatan). Ketiga, the print age (ditandai dengan ditemukannya mesin cetak). Keempat, the electronic age (ditandai ditemukannya radio, telepon, televisi, komputer, dan internet). Mudah-mudahan masa depan yang tak mudah diramalkan itu, menjadi milik kita. Bahkan, semoga bisa mewarnainya untuk kemaslahatan bersama.