LAMPUNG7COM | Kasus pemerkosaan yang menimpa ISP (18) siswi salah satu sekolah setingkat SMA di Kabupaten Temanggung, mendapat perhatian publik. Lantaran terlalu tragis, ia diperkosa ayah tirinya kemudian dikeluarkan dari sekolah.
Dilansir dari Kumparan, kuasa hukum korban, Totok Cahyo Nugroho mengatakan, pihaknya akan terus mengawal kasus ini sampai benar-benar ada penyelesaian terbaik. Pasalnya, korban di sini justru seolah tidak dilindungi tapi semacam dipersalahkan.
Totok juga sangat menyayangkan pihak sekolah yang diklaim telah memaksa ISP dan ibunya untuk menandatangani surat pengunduran diri pada Sabtu (19/2) lalu. Ia mengecam keras tindakan tersebut karena dinilai terlalu gegabah, dan sekolah bukan lembaga pemberi hukuman melainkan lembaga pendidikan sehingga tidak pas jika serta merta memberi sanksi mengeluarkan korban.
“Pihak sekolah yang bersangkutan telah salah mengambil keputusan. Pasalnya, korban yang kini tengah mengandung itu justru dipaksa berhenti menempuh pendidikan secara sepihak. Padahal tak lama lagi, klien saya itu akan melaksanakan ujian kelulusan, tepatnya bulan Maret 2022. Sangat disayangkan kalau tidak ada kebijaksanaan, dia itu korban lho,” katanya Selasa (22/2/2022).
Menurutnya, semestinya persoalan ini dilihat dengan jernih, dianalisa bagaimana posisi korban sesungguhnya. Menjadi korban pemerkosaan ayah tirinya saja sudah menjadi beban berat, apalagi sampai hamil. Malah akan ditambah beban lagi dengan dikeluarkan dari sekolahnya.
“Saya sudah menggali informasi dari korbannya sendiri dan orang tua, dalam hal ini ibunya secara langsung. Mereka dipaksa menandatangani surat pengunduran diri dari pihak sekolah. Padahal ini bertentangan dengan keinginan mereka yang tetap ingin mengikuti ujian yang hanya tinggal hitungan hari saja akan digelar. Apakah itu yang dinamakan bijak, dari kacamata saya, tidak ada unsur keadilan dalam perkara itu,” tegasnya.
Melihat dengan kacamata jernih yang dimaksud Totok adalah, tanpa juga berniat mengkesampingkan nama baik atau reputasi sekolah. Akan tetapi pendidikan adalah hak seorang anak yang tidak bisa direnggut oleh siapapun dan dengan alasan apapun. Bahkan, hal itu sudah diatur oleh konstitusi negara.
Dalam perkara ini, ia melihat terdapat dua permasalahan yang harus segera diselesaikan secara cermat, tepat, dan bijak agar tidak berimbas pada kondisi psikologis anak selaku korban, termasuk guncangan kejiwaan ibunya yang mengaku tertekan menghadapi dilema kasus tersebut.
“Pertama di ranah pidana sudah jelas, kalau memang benar ayah tirinya yang melakukan rudapaksa, ia diancam UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Kedua, perspektif pendidikan yang mana pihak sekolah telah memaksa dia untuk berhenti bersekolah. Ini bertentangan dengan Pasal 31 Undang-Undang Dasar 1945 ayat (1) yang berbunyi bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan. Coba turunkan ego dan pakailah nurani, bagaimana kalau yang jadi korban adalah anak dari pihak yang mengambil keputusan blunder itu,” tegasnya.