Oleh. Juwendra Asdiansyah
TINJA. Apa pun persepsi dan “rasa” mendengar kata ini, ia tak terpisahkan dari kehidupan. Setiap manusia, normalnya, saban hari tentu memproduksi tinja.
Di rumah, kantor, dan bangunan lainnya, umumnya tersedia water closet untuk memfasilitasi manusia membuang “limbahnya”. Dari closet, tinja mengalir lalu ditampung di septic tank.
Pada waktunya, septic tank akan penuh. Idealnya, secara periodik, 2-5 tahun sekali, septic tank disedot. Warga bisa menghubungi pihak pemerintah atau swasta untuk urusan ini.
Ke mana selanjutnya limbah manusia tersebut dibawa dan dibuang oleh mobil-mobil penyedot tinja?
Di Kota Bandar Lampung, secara umum, mobil-mobil penyedot menyetor lumpur tinja ke Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja (IPTL) Bakung, Telukbetung Barat. Lokasinya satu komplek, bahkan berhadap-hadapan, dengan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sampah Bakung. Saat ini, IPLT dikelola oleh PD Kebersihan, badan usaha milik Pemerintah Kota Bandsar Lampung.
Secara prosedural, seharusnya pengolahan limbah tinja dimulai di sumur khusus. Sumur ini berfungsi menyaring sampah-sampah di dalam lumpur tinja.
Lumpur yang sudah disaring (tanpa sampah) kemudian dialirkan ke kolam-kolam secara paralel. Hingga kemudian, di kolam terakhir tinggal tersisa air yang sudah tidak tercemar sehingga bisa dibuang ke badan air atau sungai.
Sementara itu, lumpur kering di kolam-kolam dapat dimanfaatkan sebagai pupuk, briket (untuk bahan bakar), dan sebagainya. Dengan demikian kolam-kolam di IPLT tidak pernah penuh, bisa digunakan dalam masa yang panjang.
Realitasnya, setiap hari, rata-rata 15-20 truk dengan kapasitas masing-masing 3-4 meter kubik datang dan pergi. Artinya, saban hari 45-80 meter kubik limbah kotoran manusia tumplek blek di sana. Ini sangat jauh melebihi kapasitasnya.
“IPLT Bakung didesain hanya untuk menampung dan mengolah 14 meter kubik lumpur tinja dalam sehari,” kata I Nyoman Suartana, aktivis lingkungan dari SNV Indonesia.
Tidak cuma itu, entah bagaimana awalnya, pengolahan lumpur tinja juga tidak lagi berjalan. Lumpur-lumpur yang datang dicemplungkan begitu saja ke kolam-kolam.
Tak heran, sejak medio 2015, IPLT penuh. Over kapasitas. Sempat dikuras, diambil lumpurnya pada 2016, namun sekira Mei 2017 kembali penuh dan tak sanggup lagi menerima setoran tinja.
Karena penuh, jika hujan, air dari kolam-kolam IPLT sering meluap dan mengalir hingga ke permukiman warga di kawasan Bakung. Untuk mengatasinya sementara, pada 2018 pembuangan tinja dialihkan ke lubang galian ala kadarnya. Lokasinya sekitar 30 meter dari IPLT, bercampur dengan area pembuangan sampah.
Langkah darurat ini malah menimbulkan masalah baru. Lumpur tinja yang dibuang di areal sampah mencemari air permukaan. Air limbah meresap ke tanah dan selanjutnya merusak sumber air warga sekitar.
Uji sampel yang dilakukan duajurai.co pada Desember 2017 di UPTD Balai Laboratorium Kesehatan Provinsi Lampung menunjukkan, air sumur warga Bakung di RT 01 dan RT 08 Lingkungan II positif tercemar bakteri coliform.
Sampel air sumur warga RT 01 mengandung coliform dengan kadar 350. Sampel air sumur dari RT 08, yang paling dekat dengan IPLT, bahkan memiliki kadar coliform lebih besar, 920. Angka-angka tersebut jauh melampaui ambang batas yang dipersyaratkan untuk air bersih.
Merujuk Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 416/Menkes/Per/IX/1990, air nonperpipaan hanya boleh mengandung kuman kurang dari 50 per 100 ml. Sedangkan untuk air perpipaan kuman cuma ditoleransi 10 per 100 ml.
Coliform adalah bakteri-bakteri yang dihasilkan dari pencernaan manusia. Coliform yang terkandung dalam sampel air sumur di Bakung bisa berasal dari tinja manusia. Kondisi air seperti itu berpotensi mengakibatkan berbagai macam penyakit mulai dari diare, penyakit kulit, ISPA, hingga stunting (gagal tumbuh) pada anak-anak.
Pengelola IPLT bagai bersobok buah simalakama. Limbah dibuang ke lubang sementara, sumur warga tercemar. Jika tetap dialirkan ke instalasi, air tinja yang hitam dan bau akan meluber dan mengalir hingga ke rumah-rumah warga juga.
Kondisi ini sejatinya sudah diketahui pemerintah daerah, bahkan pusat. Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat juga pernah menyatakan, IPLT Bakung bermasalah karena berlebihnya volume limbah, sistem pengolahan gagal, secara proses tak baik, dan selanjutnya lumpur tinja meluap sampai ke rumah-rumah warga.
Kementerian pun menawarkan dua opsi untuk membenahinya. Pertama, memperbaiki IPLT lama, tetap dengan kapasitas penampungan/pengolahan sesuai desainnya, dan tak perlu lahan baru. Opsi kedua, membangun instalasi baru dengan teknologi mekanikal eletrikal penuh tapi mebutuhkan lahan baru.
Akhir 2017, melalui Satuan Kerja (Satker) Pengembangan Sistem Penyehatan Lingkungan Permukiman (PSPLP), Kementerian PU-Pera menyatakan akan memperbaiki IPLT Bakung pada 2019.
“Kementerian PU-Pera siap membantu. Kepala daerah tinggal mengajukan ke pusat, maka IPLT akan dibangun sesuai kebutuhan,” kata Dardjat Widjunarso, kepala Satker PSPLP, kala itu.
Namun, tujuh bulan kemudian, 4 Juli 2018, Dardjat menyatakan hal berbeda. Kementerian PU-Pera, katanya, belum bisa membangun IPLT di kawasan Bakung. Pasalnya, tim teknis Kementerian masih melakukan kajian untuk menentukan langkah yang tepat.
“Tahun ini dipastikan belum ada pembangunan fisik untuk IPLT Bakung. Kami lihat dahulu hasil kajiannya secara keseluruhan,” katanya.
Pada Juni 2018, dua tahun lalu, Direktur PD Kebersihan Bandar Lampung Zainul Bahri mengatakan, selain anggaran perbaikan, dibutuhkan juga dana untuk memperbesar kapasitas IPLT Bakung. Dengan begitu, instalasi tersebut bisa dioperasionalkan sebagai pembuat pupuk kompos sekaligus menjaga kebersihan lingkungan.
“Butuh sekitar Rp16 miliar, tapi ya berkala. Paling tidak, Rp3 miliar dahulu untuk beli peralatan. Nantinya, dana tersebut untuk pemadatan membuat jalan lingkaran di sana,” ujarnya.
*
Selasa pekan lalu, 9 Juni 2020, Nyoman bersama Bambang Pujiatmoko, juga dari SNV Indonesia, mengajak saya “jalan-jalan”. Bukan ke pantai, gunung, atau taman bunga, duo aktivis lingkungan kelas berat ini membawa saya menengok tempat yang mungkin dijauhi oleh kebanyakan orang awam, IPLT Bakung.
Tak sampai satu jam kami di sana, tiga truk tangki tinja bergiliran buang muatan. Alih-alih dimulai dari sumur penyaring sampah, lumpur tinja malah digelontorkan begitu saja di kolam bagian tengah.
Para awak truk tangki tampak cuek saja menarik selang besar dari truk, menempatkannya di tepi kolam, lalu memeganginya saat lumpur tinja mulai dialirkan. Jangankan menggunakan sarung tangan atau alat pelindung diri standar, sekadar memakai masker pun tidak.
Hingga Juni 2020 ini, wajah dan tubuh IPLT Bakung belum berubah, masih serupa dua-tiga tahun silam. Ia sebatas tempat buangan. Kolam-kolam penuh. Puluhan kubik lumpur tinja silih berganti berdatangan setiap hari dari penjuru Bandar Lampung tanpa diolah sama sekali.
Rencana perbaikan, bahkan pengembangan, masih sebatas wacana yang nyaris menguap bersama waktu. Pandemi Covid-19 yang membuat banyak anggaran pemerintah dialihkan, kini menjadi dalih terbaru atas semakin tak jelasnya nasib perbaikan IPLT Bakung.
Biaya pembangunan instalasi baru dengan kapasitas lebih besar dan pengelolaan modern yang ditaksir Rp15 miliar-16 miliar sepintas memang tampak “wah”. Tapi, jumlah itu sejatinya tak sampai setengah dari anggaran rata-rata pembangunan satu fly over di Bandar Lampung yang kini sudah membentang di 12 titik.
Bahkan, jika angka belasan miliar itu masih juga dianggap kebesaran, sekira Rp3 miliar pun cukup untuk “sekadar” membuat IPLT, yang begitu penting nilainya bagi kota, berfungsi kembali.
Meski tampak sepele, persoalan limbah manusia, termasuk IPLT, sesungguhnya sama sekali bukan hal sepele. Tanpa kebijakan dan pengelolaan secara serius, tak perlu menjadi bom waktu, kini pun bahkan sudah menjadi masalah besar dan merugikan banyak orang, lingkungan, kesehatan, dan lebih jauh, kehidupan. (*)
Kota Baru, 16 Juni 2020