Ketua DPR RI ke-20 dan mantan Ketua Komisi III DPR RI bidang Hukum, HAM, dan Keamanan ini juga mendorong agar penerapan restorative justice bisa dilakukan dalam menangani perkara ekonomi digital, yang beberapa diantaranya masih memiliki kekosongan hukum, sehingga rawan disalahartikan oleh aparat penegak hukum maupun antar sesama kalangan masyarakat sendiri. Hal itu bisa terjadi karena belum adanya peraturan Initial Coin Offering (ICO) atau Initial Token Sales (ITS) serta belum adanya Regulatory Sandbox yang bisa mempertemukan para pemain ekonomi digital yang telah mendunia tersebut dengan regulator seperti Bappebti di Kementerian Perdagangan, OJK dan Bank Indonesia.
Misalnya dalam menyikapi keberadaan digital trading disektor komoditi, baik dari sisi mekanisme penjualan, transaksi, distribusi dan lain-lain yang hingga saat ini belum memiliki payung hukum yang jelas.
Bamsoet menjelaskan, Perkembangan inovasi digital traiding yang belum diikuti dengan kecepatan regulasi dan belum terbangunnya insfrastruktur perdagangan komoditi digital dalam negeri seperti Bursa Kripto, broker dan exchanger yang kuat, menyebabkan masyarakat menggunakan berbagai platform digital traiding luar negeri. Kekosongan regulasi yang mengatur transaksi perdagangan berjangka komoditi itu pada akhirnya membuka peluang masuknya para broker digital traiding luar negeri yang berpotensi melakukan pratik penipuan berkedok investasi ilegal atau bodong.
“Jangan sampai geliat anak-anak muda dan investor milenial yang mulai aktif turun ke bursa perdagangan komoditi, perdagangan aset kripto, maupun berbagai fenomena ekonomi digital lainnya menjadi terhambat lantaran kecemasan mereka terkait situasi aturan hukum yang belum jelas. Penerapan restorative justice sebaiknya juga bisa dilakukan terhadap berbagai kasus ekonomi digital, namun tentu saja dengan catatan bukan terhadap kasus besar yang menimbulkan kerugian sangat besar di masyarakat seperti investasi bodong, skema ponzi, judi dan penipuan lainnya,” jelas Bamsoet.