Bermimpilah, dan biarkan semesta berkonspirasi untuk mewujudkannya.
Cerita Oleh: Noor Azizah Rahmafani
Perkenalkan, aku Noor, pemudi yang tumbuh besar di Desa Tinggarjaya, desa yang terletak di Kabupaten Banyumas dan berjarak sekitar 45 km dari Kota Purwokerto. Pemudi yang kini mengenyam pendidikan S1 Teknik Elektro ITB. Inilah cerita perjuanganku tatkala SMA dulu.
Karena perceraian orang tua, akhirnya sejak SMA aku tidak tinggal bersama bapak atau ibu, namun tinggal bersama dengan nenek dari ibu. Kebetulan nenek tinggal sendiri karena pak lik yang harusnya menemani nenek masih tinggal di toko yang letaknya jauh dari rumah nenek. Aku tinggal di daerah yang penuh dengan kesederhanaan dimana warganya sebagian besar bermata pencaharian sebagai petani dan pembuat batu bata merah. Untuk memasak, nenek masih menggunakan tungku, sehingga bila aku pulang sekolah lebih awal, aku membantu nenek untuk mencari kayu bakar tambahan.
Sebagian besar warga hanya mengenyam pendidikan sampai SD, beberapa melanjutkan sampai SMP dan SMA, namun masih bisa dihitung jari yang mau dan mampu melanjutkan pendidikan hingga ke perguruan tinggi. Bila kamu pergi ke tempatku, maka kamu hanya akan menemui warga yang berumur 30 tahun ke atas, karena hampir seluruh pemudanya mengadu nasib di ibukota. Beruntung, aku lahir di keluarga yang menomor satukan pendidikan sehingga keluargaku selalu mewanti-wanti untuk terus belajar hingga ke jenjang tertinggi dan menanamkan mimpi-mimpi yang besar di dalam otak dan hati, agar aku mampu menjadi orang yang bermanfaat bagi banyak orang.
Ibuku adalah seorang guru SMK swasta, ibu biasanya pulang kerja sekitar pukul 3 sore. Ibu tinggal dengan kakakku yang bekerja di bengkel dan adikku yang masih TK. Karena tidak ada yang mengurus rumah dan air sumur di rumah ibu yang keruh, setiap pulang sekolah aku akan ke rumah ibu dan mengambil semua cucian untuk kemudian kucuci dan kusetrika di rumah nenek. Bagian depan rumah ibu adalah warung untuk berjualan barang-barang kelontong untuk penghasilan tambahan. Sehingga sebelum mencuci pakaian, aku akan menjaga warung, membersihkan rumah, dan mengerjakan PR, sampai ibu pulang dan beristirahat.
Untuk meringankan beban ibu, selama SMA aku hampir tidak pernah jajan. Uang Rp 5.000,00 yang diberikan sebagai uang saku satu hari, yaitu untuk angkot pulang pergi sebesar Rp 2.000,00 dan untuk penitipan sepeda Rp 500,00 kugunakan dua hari, Aku menitipkan sepedaku karena jarak rumah dengan jalan raya sekitar dua km, sehingga untuk sampai ke sana, aku harus menggunakan sepeda. Sepedaku merupakan keluaran lama, sehingga sepedaku sering rusak, hampir tiap minggu kubawa ke bpemudi yang tumbuh besar di Desa Tinggarjayaengkel untuk diperbaiki. Alhasil, dari 6 hari sekolah, 3 hari di antaranya aku harus berjalan kaki menuju jalan besar, atau membonceng teman yang kebetulan memiliki arah perjalanan yang sama. Aku juga selalu tepat waktu datang ke sekolah (re: pukul 7 pagi) karena aku harus menunggu masakan nenek selesai dan membungkusnya sebagai bekal sehingga aku tidak kelaparan saat sekolah.
Akhirnya sampai kelas 3 SMA, aku masih bingung antara ingin melanjutkan ke perguruan tinggi atau bekerja saja seperti teman-teman yang lain. Namun bila ingin kuliah, aku masih bingung darimana aku akan mendapatkan uang pendidikan, apalagi sekarang biaya pendidikan amatlah mahal. Seperti biasa, murid kelas 3 SMA akan selalu kebanjiran roadshow dari berbagai perguruan tinggi negeri, swasta, kedinasan, dan ikatan dinas. Tiap kali diterangkan, aku akan memerhatikan dengan seksama, berapa biaya pendidikan yang harus kukeluarkan.