Terlebih lagi di tengah gempuran berbagai narasi digital yang penuh ambiguitas hari ini, melalui buku Intoleransi dan Radikalisme, masyarakat diharapkan tidak terombang-ambing dalam sekat-sekat kebencian karena perbedaan,” imbuh dia.
Agama akan kembali dalam daya tariknya sebagai sarana untuk mempertebal rasa kemanusiaan, kedamaian, saling cinta dan saling mengenal satu sama lain.
Gerakan radikalisme dan terorisme bukan hal yang baru dalam pergumulan kita beragama dan bernegara. Kalau kita rajin membaca buku-buku bahwa aksi-aksi intoleransi, radikalisme yang kita rasakan saat ini merupakan pengulangan dari masa lalu dengan tampilan dan wajah yang berbeda.
Kekerasan dalam Islam tidak berdiri sendiri. Semuanya lahir dan dipengaruhi oleh tafsir dan sosio-kultural. Sebagai halaman utama dalam sejarah pertarungan dan pertentangan suksesi politik dalam ruang agama, maka kita bisa mengambil kesimpulan bahwa Islam tidak mewariskan tafsir tunggal.
Khilafah itu bukan sistem yang direkomendasikan oleh Nabi Muhammad dan diwahyukan Tuhan secara mutlak. Suksesi saja tidak ditentukan oleh Nabi.
Orang-orang seperti Hizbut Tahrir ini adalah urusan politik, sedangkan agama sebagai bungkusnya. Dan kita perlu belajar dari sesuatu yang disampaikan Ibnu Khaldun yang telah menyuarakan kontra intoleransi, radikal-terorisme, kalau agama dibawakan dengan kekerasan maka orang akan menjauh dari agama dan orang-orang yang menjadikan agama sebagai bungkus belaka hanya akan melahirkan kekerasan.