Tapi semua aturan agama tak sesederhana itu. Di tangan manusia, ia berelaborasi dalam berbagai interpretasi. Dari berbagai rujukan dengan disiplin keilmuan agama, manusia lalu menuangkannya secara lebih rinci dalam laku kehidupan sehari-hari. Inilah yang disebut ‘tafsir-tafsir’ itu.
Setiap agama selalu menghargai perbedaan dan melawan segala bentuk kebencian dengan berlebel agama. Kita adalah pemeluk dari tafsir-tafsir agama.
Radikalisme tidak hanya berlandaskan agama tapi ada juga yang berlandaskan pada ekonomi dan politik. Kejahatan atas nama agama akan selalu terlihat terhormat. pemikiran setiap manusia selalu berbeda, maka penafsiran terhadap yurisprudensi hukum agama juga akan berbeda.
Dari sini lahirlah berbagai perbedaan dari setiap hukum agama, yang kemudian memunculkan madzhab, ijtihad, aliran dan sekte-sekte. Kita semua hari ini adalah pemeluk tafsir-tafsir itu, dan sudah barang tentu semua mengaku yang paling benar. Klaim ini yang seringkali membuat sebagian orang berusaha mendegradasi keyakinan orang lain.
Jangankan terhadap yang berbeda agama, bahkan kepada yang seagama sekalipun. Seringkali karena keyakinan atas tafsir- tafsir, kita melupakan fungsi dasar agama sebagai norma untuk menertibkan akhlak atau moral manusia.